Kamis, Februari 04, 2010

Kerbau Gara-Gara

KERBAU yang diberi nama SiBaYu sesungguhnya tidak mencari gara-gara. Tetapi gara-gara kerbau yang ternyata sudah tiga kali ikut demonstrasi di Jakarta dan kini berubah nama menjadi Lebay itu, seantero negeri jadi heboh. Si Lebay kemarin oleh penyewanya, Jose Rizal, sudah dibawa dari Bekasi untuk berdemonstrasi lagi di Bundaran Hotel Indonesia. Namun, langkah Lebay terhenti oleh polisi yang mencegat di Kalimalang, Jakarta Timur. Lebay pun pulang kandang.

Masyarakat yang menyaksikan seekor kerbau dilibatkan dalam demonstrasi 28 Januari lalu sesungguhnya menganggapnya sebagai kegenitan para demonstran saja. Kalau ada yang serius, aspek keselamatan demonstran yang dikhawatirkan. Karena si kerbau ketika itu kelihatan mudah diatur dan bersahabat, polisi kala itu membiarkannya.

Namun, ternyata kehadiran kerbau itu menjadi soal besar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di hadapan rapat kerja kabinet yang juga dihadiri para gubernur se-Indonesia di Istana Cipanas, Selasa (2/2), SBY merasa tersinggung berat. Tersinggung karena kerbau dihadirkan dengan semangat konotatif terhadap dirinya.

Yang ingin digugat SBY dengan curahan hatinya di hadapan para peserta rapat kerja itu adalah dimensi etis dari sebuah demonstrasi. Apakah demonstrasi yang merupakan hak menyatakan pendapat rakyat dan dilindungi undang-undang kebal terhadap semua dimensi kepatutan?
Itulah pertanyaan yang sekarang menyulut pro dan kontra. Dan itu juga pro dan kontra yang untuk kesekian kali muncul dari kebiasaan SBY akhir-akhir ini yang rajin mengeluh ke hadapan publik.

Kita semua harus memiliki posisi berdiri yang sama tentang demokrasi dan demonstrasi. Orde Baru melarang demonstrasi karena pemerintah tidak siap menghadapi semua konsekuensinya. Rakyat juga dianggap tidak siap berdemokrasi.

Tatkala kita mengusung demokrasi dengan kebanggaan penuh, kita suka atau tidak suka dianggap siap menerima dengan seluruh konsekuensinya. Sebuah pemerintahan yang membolehkan demonstrasi adalah pemerintahan yang tidak tipis kuping dan tidak supersensitif. Para pemimpinnya siap diolok-olok dan diejek di jalan-jalan dengan segala bentuk alegori yang disimbolkan rakyatnya karena kekecewaan.

Namun, negara yang membolehkan demonstrasi adalah negara yang mampu menegakkan hukum. Membakar foto seorang presiden dan lambang-lambang negara adalah perbuatan melanggar hukum sekaligus melanggar kepatutan.

Sayangnya, penegak hukum kita tidak mampu tegas terhadap apa yang patut dan apa yang tidak. Apa yang dilanggar dan apa yang tidak. Juga, partai-partai politik tidak mampu melakukan pendidikan politik terhadap konstituennya untuk memahami apa yang patut dan apa yang tidak. Politik masih dikendalikan oleh kepentingan yang membolehkan segala cara.

Dulu banyak yang bersepakat bahwa mengobral posisi ketersudutan adalah politik pencitraan SBY untuk meraih simpati. Namun, politik pencitraan harus menghormati dosis. Bila seorang presiden terus-menerus mengeluh kepada rakyatnya, keluhan itu akan berubah menjadi sinisme. Kalau Presiden terus mengeluh kepada rakyatnya, kepada siapa lagi rakyat mengeluh?

Selasa, Desember 16, 2008

Harimau Mati Meninggalkan Belang, Gajah Mati Meninggalkan Gading, Hakim Agung Tidak Ada Matinya

[5/10/08]

Judul di atas boleh jadi sangat sinis bahkan sarkas. Ini merujuk pada betapa pongahnya sekelompok hakim agung kita yang mendesakkan dirinya tetap bercokol di Mahkamah Agung dengan memaksakan usia pensiun mereka menjadi 70 tahun dalam RUU Mahkamah Agung (RUUMA).


Lain halnya jika usulan itu berlaku untuk generasi hakim berikutnya setelah MA direformasi habis. Ini berlaku untuk diri mereka sendiri, kepanjangan dari sikap memperpanjang masa jabatan dua tahun lalu. Kalau Julius Caesar mengenakan sendiri mahkota kaisar di kepalanya, dan Napoleon Bonaparte mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar, maka para hakim agung yang memperpanjang masa jabatannya sendiri mengangkat dirinya menjadi pemutus keadilan terakhir di dunia. Sayang, mereka hanya sekelompok hakim yang merepresentasikan persepsi pengadilan Indonesia yang terkenal sangat korup di indeks persepsi yang diakui dunia, bukan Julius Caesar dan bukan pula Napoleon Bonaparte.

 

Ada sejumlah alasan kenapa perpanjangan usia pensiun hakim agung yang diakibatkan berlakunya UU Mahkamah Agung sangat tidak pantas dilakukan. 

 

Pertama, Mahkamah Agung sekarang ini harus dianggap gagal mereformasi dunia peradilan dengan reformasi setengah hatinya. Benar ada perbaikan di sana sini, tetapi tetap saja tidak ada leadership yang tegas dan efektif dalam melakukan reformasi. Benar bahwa keberhasilan reformasi harus menunggu paling tidak satu generasi hakim lagi, tetapi kalau fondasi yang kokoh dan kepemimpinan yang kuat tidak hadir saat ini juga, reformasi peradilan hanya akan jadi retorika untuk banyak dasawarsa ke depan. Reformasi peradilan sekarang ini hanya bisa terjadi karena ada dorongan dari luar, bantuan donor, dan kerja keras multi-stakeholders termasuk LSM pro-reformasi. Tidak ada “champion” di dalam MA, tidak ada dorongan moral kuat untuk berubah dari dalam. Tidak ada orang dalam yang bisa berfikir sebagai negarawan di dalam memimpin berjalannya reformasi. 

 

Jadi kata “gagal” bukanlah cuma hukuman buat MA, tetapi itu hanya sesederhana kenyataan yang sungguh memalukan. Sebenarnya cukup sederhana untuk menentukan apakah MA sekarang ini sudah cukup berhasil dalam program reformasinya. Sedikitnya setelah 10 tahun melakukan reformasi, sudah harus terbangun:, walaupun belum sempurna: (i) sistim rekrutmen yang profesional, (ii) sistim penggajian yang memadai, (iii) sistim tranparansi dalam penentuan majelis hakim yang bebas dari benturan kepentingan, (iv) sistim monitoring perkara, (v) sistim dan manajemen keuangan yang transparan, (vi) pendidikan hukum lanjutan bagi hakim tingkat manapun, (vii) manajemen bobot kerja bagi seluruh sistim peradilan, (viii) transparansi keputusan hakim, (ix) sistim manajemen database dan manajemen pengetahuan, dan (xi) sistim pengawasan internal yang ketat. Tanpa itu semua, hanya kata “kegagalan” yang tepat untuk MA.

 

Kedua, begitu banyak dugaan bahwa selalu ada dagang perkara di peradilan kita, tidak terkecuali MA. Dugaan begitu marak karena sebentar lagi akan ada banyak perkara yang menyangkut sengketa pemilu yang melibatkan banyak parpol dan tokoh politik, termasuk anggota parlemen. Barter antara persetujuan RUU MA dan menjadikannya piutang politik yang bisa ditagih manakala perkara nanti muncul adalah dugaan yang secara politis parlemen yang kini sedang diselidiki, disidik, dan bahkan dituntut. Dan jangan lupa, perkara eks BLBI dan hutang pajak yang melibatkan para konglomerat dan pengusaha besar bisa jadi suatu jalan masuk untuk menyelesaikanya lewat prinsip “you scratch my back, I will scratch your back too”. Belum lagi perkara-perkara besar lain yang sedang dalam daftar antrian di MA.

Ketiga, yang sangat tidak masuk akal adalah pernyataan dari dalam MA yang mengatakan bahwa semakin tua seorang hakim agung semakin bijaksana juga pemikirannya. Hanya satu yang bisa membuktikan hal ini, yaitu bagaimana MA memutus perkara. Semakin banyak putusan MA yang bersandar pada jiwa dan kaidah konstitusi, semakin banyak putusan yang pro kepentingan umum, semakin banyak putusan MA yang melahirkan kebijakan hukum baru yang inovatif, menjebol simpul-simpul anti perubahan, dan semakin banyak putusan MA yang menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan, dan semakin banyak putusan MA yang mempraktekkan zero korupsi, adalah indikasi-indikasi kuat bahwa memang hakim-hakim agung kita makin bijaksana. Sayang, itu tidak terjadi, sehingga adalah mimpi di siang bolong untuk mengharapkan banyak hanya dengan menghitung jumlah umur yang semakin uzur. 

 

Dari banyak fakta, usia harapan hidup di Indonesia rata-rata tidak lebih dari 65 tahun. Pada umur di atas itu, mereka sangat rentan akan problem dimensia, darah tinggi, gula darah tidak normal, gangguan stroke dan jantung dan sebagainya yang juga mungkin sudah melanda hakim-hakim agung yang berusia diatas 65 tahun. Kalau memang mau konsisten, coba saja dilihat riwayat kesehatan mereka atau dilakukan tes kesehatan apakah mereka memang secara fisik dan psikologis mampu menjalankan tugasnya yang maha berat tersebut. Hakim agung dituntut untuk membca semua berkas perkara, tidak tergantung pada asisten atau hakim tanpa palu. Hakim agung harus membuat sendiri pertimbangan-pertimbangan hukum untuk menegakan “justice of the last resort”. 

 

Hakim agung harus meneliti dan memperhatikan dengan jeli perkembangan dan perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah masyarakat. Hakim agung juga harus bisa membuat “hukum baru” yang tidak pernah diatur dalam hukum positif atau yurisprudensi, yang akan menjadi “landmark decision” dan panduan bagi hakim bawahan untuk membuat keputusan atas perkara sejenis untuk jangka waktu yang lama. Hakim agung juga harus mampu membuat keputusannya sendiri ditengah tumpukan perkara berjumlah puluhan ribu. Mampukah mereka di usia uzur itu? Sangat diragukan.

 

Bukan berarti bahwa hakim-hakim agung yang sudah masuk usia pensiun akan otomatis digantikan oleh hakim-hakim lebih muda atau baru yang lebih mampu, bijak dan efektif menjalankan reformasi peradilan. Mereka pun sama tidak jelasnya, apalagi sebagian besar memang mereka yang terpilih karena melamar kerja atau hakim karir yang menjadi bagian dari sistim yang sudah lama terkorupsi. Selama sistim rekrutmen dilakukan dengan cara seperti sekarang, maka tidak akan ada hakim agung bermutu tinggi yang akan tampil. Cara rekrutmen hakim agung dengan cara seperti sekarang bukan hanya tidak profesional, tetapi juga tidak efektif dan buang-buang waktu. Keagungan seorang hakim agung diperoleh dari jejak rekamnya selama puluhan tahun. Baik dari keputusannya, integritasnya, dan kemampuannya untuk membrikan solusi hukum yang berkeadilan dalam masyarakat yang tidak pernah berhenti berubah. 

 

UUMA telah terlanjur berlaku. Kita semua gagal menolak dengan tegas usulan perpanjangan usia hakim agung. Kalau diatas harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, maka hakim agung mati seharusnya meninggalkan “legacy” berupa institusi MA (termasuk putusan-putusannya) yang menjadi tonggak-tonggak bangunan bangsa yang besar ini. Kegagalan kita ini berharga sangat mahal.


Senin, Februari 25, 2008

Yusti Probowati Rahayu: Kalau Sedang Tidak Mood, Hakim Jangan Ambil Putusan

[25/2/08]

Rambut boleh sama hitam, tetapi jalan pikiran hakim bisa saja berbeda. Meskipun sama-sama sedang menangani perkara korupsi misalnya, para hakim mungkin menjatuhkan vonis berbeda terhadap terdakwa.

Pelaku korupsi yang merugikan negara Rp103 miliar ‘hanya’ dihukum 2,5 tahun, sementara pelaku yang ‘hanya’ korupsi belasan miliar divonis 7 tahun penjara. Inilah yang disebut disparitas hukuman. Tetapi mengapa hakim yang sama-sama berpendidikan sarjana hukum itu menjatuhkan putusan berbeda, malah mungkin kontras?

Proses pengambilan keputusan hakim dalam perkara tertentu membutuhkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Pada prakteknya, suasana psikologis hakim bisa berpengaruh. Disparitas pemidanaan berkaitan dengan kepribadian, nilai dan sikap hakim. Yang berpengaruh antara lain kemampuan berpikir logis, kepribadian, jenis kelamin, usia, dan pengalaman kerja. Sayang, referensi yang mengaitkan kondisi psikologis hakim dengan putusannya masih sedikit.

Salah seorang dari sedikit akademisi yang melakukan kajian psikologis terhadap hakim adalah Yusti Probowati Rahayu. Perempuan kelahiran 22 September 1964 ini menempuh jenjang pendidikan psikologi dari S1 hingga program doktor di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pertangahan Januari lalu, dosen Universitas Surabaya ini hadir dalam Forum Komunikasi Ilmu-Ilmu Forensik se-Indonesia di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di sana ia berbicara tentang Peranan Psikologi dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana.

Dalam kesempatan pertemuan itulah hukumonline mendapat kesempatan mewawancarai Yusti seputar psikologi hakim dalam memutus perkara. Berikut petikannya:

Apa saja yang membuat hakim memiliki bias dalam menjatuhkan putusan?

Banyak faktor. Misalnya dari sisi terdakwa. Banyak penelitian yang menunjukan dari sisi kelamin, sisi ras itu berpengaruh. Penelitian saya menunjukan bahwa kalau dua terdakwa dengan ras atahu etnisnya ----saya coba bikin eksperimen begitu -- dalam kasus yang sama. Terdakwa yang satu etnis Tionghoa dan satu lagi etnis pribumi, lalu hakimnya pribumi. Hakimnya diminta membuat keputusan, ternyata yang etnis Tionghoa hukumannya lebih berat. Pada kasus lain, factor jender, satu terdakwanya laki-laki, dan terdakwa lain perempuan. Pada kasus orang tua yang melakukan kekerasan dan berdampak pada kematian anak, itu ternyata kalau terdakwa perempuan, kira-kira itu dihukum lebih berat atahu lebih ringan? Ternyata lebih berat

Apakah karena hakimnya laki-laki?

Tidak! Itu terjadi pada hakim laki-laki atahu perempuan. Itu karena stereotip masyarakat, perempuan adalah orang yang harus melindungi anaknya. Kalau sampai ada perempuan yang sampai tega membunuh anaknya, masyarakat menilai bahwa perempuan tersebut kebangetan gitu. Makanya ia dihukum lebih berat. Pada hakim laki-laki dan perempuan, bahkan pada hakim perempuan pun, hakimmenjatuhkan hukuman yang lebih berat. Satu lagi penelitian yang pernah saya buat. Anda tahu ya hakim sebelum membuat keputusan, lebih dahulu jaksa membuat requisitor. Studi awal saya mengkorelasikan requisitor jaksa dengan putusan hakim. Ternyata korelasinya 0,9.

Apa artinya korelasi itu?

Artinya, dalam membuat keputusan hakim sangat dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Jadi sebenarnya bukan hanya hakim yang membuat putusan. Jaksanya juga bermain. Dalam disertasi, saya membuat tiga kelompok hakim. Hakim riil ya. Yang satu hakim dikasih requisitor tinggi, satu dikasih requisitor rendah, dan yang lain tanpa requisitor dengan kasus yang sama. Ternyata bener, bahwa pada hakim dengan requisitor tinggi putusannya jadi lebih berat. Banyak bias yang menunjukan bahwa, hakim itu dalam pengambilan keputusan bias-bias yang dimunculkan, entah itu dari terdakwanya, atau jaksanya. Satu lagi yang saya lihat dalam proses pengambilan keputusan kognitifnya ternyata pada satu fenomena tertentu hakim yang ini bisa memutusakan hal-hal yang sangat berbeda dan itu kelihatan dari yang 90 hakim yang saya teliti. Pada kasus yang sama ada yang memutuskan terdakwa lepas, ada pula yang memberikan hukuman 10 tahun. Ini membuat saya bertanya, bagaimana ya di dalam otak para hakim itu? Kognitifnya seperti apa? Saya coba melihat dan analisis satu-satu logika berfikirnya ternyata memang tidak ada patokan. Ketika saya interview, mereka menjawab hakim kan punya kebebasan. Tetapi saya pikir kebebasan seperti apa? Seharusnya kebebasan yang bertanggung jawab kan? Nah, ini yang menurut saya menarik untuk dikaji.

Kapan Anda melakukan riset itu?

Saya buat di tahun 2001. Itu hanya salah satu penelitian dari bermacam kajian yang pernah saya lakukan.

Dimana daerah penelitiannya?

Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta.

Boleh tahu kasusnya tentang apa?

Kasus pembunuhan yang menggunakan pasal 338 KUHP. Jadi tiap pembunuhan dengan sengaja, persis sama kasusnya. Cuma dalam praktek ada yang memutuskan terdakwa lepas, ada yang tidak. Terus saya bertanya ini gimana prosedur pengambilan keputusannya. Saya coba teliti ternyata memang kacau ya.

Bukankah putusan itu menjadi mahkotanya hakim?

Nah, dengan dalih itulah maka hakim beranggapan orang tidak boleh masuk. Tapi saya pikir kan harus ada kriterianya. Harus ada satu kriteria untuk suatu pengambilan keputusan, tidak bisa sebebas-bebasnya. Bahkan pernah ada waktu saya wawancara di daerah Yogyakarta. Sang hakim mengatakan begini, pernah tuh bu ada kasus pada malam hari hakim besoknya dia harus membuat keputusan tiba-tiba rumahnya kemalingan. Lalu, besoknya dia harus memutuskan perkara pencurian. Si hakim kemudian memutuskan hukuman yang berat banget kepada terdakwa, apabila dibandingkan dengan putusan yang lazim untuk kasus pencurian.

Kasus yang sama tapi kali ini lebih berat ya?

Nah saya pikir ini kondisi emosi kan? Pada saat hakim itu ada dalam kondisi emosional harusnya hakim tak boleh membuat putusan. Sayang, kadang-kadang mereka tidak sadar. Mereka selalu mengklaim kita tidak bias kok. Seorang psikolog, kalau merasa tidak dalam kondisi yang baik untuk melayani klien, ya biasanya menolak. Kita juga manusia, yang kadang-kadang kalau lagi sumpek klien dateng ya mungkin bisa me-arrange janjil lagi daripada kita membuat sesuatu yang keliru. Sebenarnya itulah kebijakan kita untuk mengatur diri sendiri, kita bisa tidak sih membuat keputusan? Tetapi ya jumlah perkaranya tinggi, jumlah hakim terbatas. Itu yang kemudian membuat mereka seakan-akan ‘dewa yang tidak tersentuh’.

Ada upaya menjaga keluhuran martabat hakim dengan membentuk KY. Apakah hasil studi Anda pernah disampaikan sebagai bentuk rekomendasi ke KY?

Belum. Terus terang buat saya kadang tidak sulit menembus bidang-bidang itu. Mungkin ya karena saya ada di Surabaya. Tapi saya aktifnya membuat riset-riset seperti itu. Sekarang saya lagi riset di kepolisian sama Asosiasi Psikologi Forensik. Makanya presentasi saya juga tentang investigasi kepolisian. Saya juga ingin menunjukkan bahwa psikolog juga bisa berperan dalam penyidikan. Yang saya sajikan tadi kan lebih kepada kesaksian, tapi pada tersanga ada tekniknya sendir. Pada korban pendampingan perlu dilakukan, tergantung kasusnya. Sekarang ini kan banyak kasus anak atau perempuan korban kekerasan. Kadang-kadang hakim seperti melupakan kondisi korban. Korban ketika digali dia cenderung untuk menutup-nutupi. Belum pernah saya publikasikan untuk hal-hal seperti itu. Jadi, saya cuma nulis di buku dan akhirnya itu banyak dibaca oleh komunitas psikologi dan beberapa orang hukum yang baca, sebagai upaya penyadaran bahwa hakim juga manusia.

Langkah apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi bias dalam menjatuhkan putusan?

Harusnya para hakim tahu. Mereka perlu diberikan pelatihan, disadarkan bahwa manusia itu punya bias. Ini loh biasnya. Ketika orang sadar bahwa kondisinya sedang bias seharusnya dia bisa lebih aware. Itu sebenarnya, kayak misalnya ketika dia tahu bahwa requisitor itu sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan, mestinya hakim bisa lebih aware dan hati-hati dalam pengambilan keputusan.

KUHAP menentukan bahwa putusan harus didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Bagaimana Anda melihat syarat ini?

Menurut saya keyakinan hakim harusnya dibangun dengan data yang cukup lengkap. Ketika hakim melihat fakta yang lengkap harusnya bisa muncul keyakinan. Cuma, masalahnya, itu yang saya tidak tahu. Dalam proses sekarang, saya melihat buktinya harusnya kurang lengkap, tapi dia bisa begitu yakin untuk ambil keputusan. Saya pikir yang begitu ya tidak benar. Makanya saya bilang berdasarkan eksperimen yang saya lakukan kayaknya dengan data yang tidak cukup lengkap para hakim tetap berani mengambil keputusan. Dan memang kalau saya lihat dari beberapa survei di pengadilan, tampak bahwa kasus yang masuk di pengadilan itu hukumannya pasti kena hukuman. Jarang yang lepas, apa lagi bebas. Jarang banget. Karena kerangka berfikirnya sudah dari BAP kepolisian kan. Jadi hakim merasa bahwa BAP sudah lengkap.

Berati selain aspek yuridis, putusan hakim juga dipengaruhi aspek psikologis hakim?

Aspek psikologisnya banyak banget. Aspek emosinya, kognitifnya.

(Yusti menuliskan faktor-faktor yang mempengaruhi hakim saat pengambilan keputusan dalam disertasi doktornya berjudul “Rekuisitur Jaksa Penuntut Umum dan Kepribadian Otoritarian Hakim dalam Proses Pemidanaan di Indonesia”, yang ia pertahankan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2001).

Apa yang Anda maksud dengan aspek kognitif?

Ya pola pikirnya hakim. Misalnya hakim yang sudah punya prasangka lebih dahulu bahwa dia akan menjatuhkan hukuman berat. Itu kan kognitif dan emosi. Kemudian, budaya juga sangat berpengaruh. Kalau Anda cermati putusan-putusan di daerah Tapal Kuda Jawa Timur yang banyak orang Madura-nya, untuk kasus pembunuhan hukumannya jadi lebih ringan.

Mengapa bisa begitu?

Karena di sana pembunuhan sudah sering terjadi. Di Madura ada budaya carok kan? Pembunuhan dianggap sudah biasa. Menurut saya, ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Jadi hukum itu tidak bisa berdiri sendiri. Ada hal lain yang harus diperhatikan, tidak cuma psikologi, tetapi dari sosiologinya, dari budayanya. Cuma masalahnya kadang-kadang orang hukum itu selalu beranggapan undang-undang itulah yang paling benar. Padahal pelakunya kan manusia yang punya banyak aspek.

Apakah rekrutmen hakim juga perlu memperhatikan aspek-aspek yang Anda sebutkan?

Ada satu penelitian saya juga yang menunjukan bahwa hakim dengan karakteristik pribadi tertentu menghukum lebih berat, Itu kepribadiannya disebut dengan kepribadian otoritarian. Sang hakim sangat patuh pada aturan. Menurut saya kalau kita menemukan bukti yang seperti itu mungkin sistem rekrutmennya harus diperbaiki. Mungkin hakim-hakim yang punya kepribadian otoritarian, yang terlalu tinggi itu, mungkin tidak layak jadi hakim. Jadi orang yang berkepribadian otoritarian adalah orang yang tidak berpandangan luas dalam pengambilan keputusan. Jadi mereka cenderung melihat sesuatu salah dan benar, padahal kadang kita melihat satu fakta dengan banyak aspek pertimbangan.

Mungkin benar sistem seleksi hakim harus diperbaiki. Yang jadi masalah, kalau mereka sudah masuk, tidak mungkin kan diberhentikan begitu saja. Harusnya ada improvement, perbaikan dengan pelatihan pembekalan dari berbagai macam aspek baik aspek hukum maupun non-hukum. Pelatihan-pelatihan ini kayaknya sudah pernah ada dilakukan di Indonesia. Saya dengar Pak Adrianus Meliala juga masuk ke pelatihan-pelatihan hakim. Saya senang ada teman lain yang bergerak pada area yang sama untuk membuka wawasan bahwa hakim ini juga perlu mendapatkan masukan-masukan dari aspek yang non-hukum. Di Kejaksaan juga ada. Sekarang saya digandeng sama kepolisian. Saya pikir bagus juga bahwa mereka aware, ada sesuatu yang harus dilakukan.

Apakah Asosiasi Psikologi Forensik pernah menyampaikan usulan semacam itu?

Belum. Karena asosiasi sarjana psikologi forensik ini kan masih muda banget baru terbentuk Desember 2007. Jadi banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tadi ditanyakan sertifikasi profesi, ya itu akan kami lakukan. Setelah itu kami juga akan menggandeng beberapa instansi. Karena saya sekarang dekat dengan kepolisian ya mungkin kepolisian dulu yang digarap, habis itu mungkin lembaga lain. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) juga saya mulai masuk. Intinya, banyak yang bisa dilakukan untuk memberikan treatment kepada anak-anak di Lapas. Itu kan beda-beda, kompetensinya lain. Di Lapas beda, di Kepolisian beda, mungkin di kehakiman juga beda. Jadi banyak PR yang harus dikerjakan.

Menurut Anda, sejauh mana kaitan ilmu psikologi dengan ilmu hukum?

Menurut saya banyak sekali kaitannya. Misalnya ketika kita menjelaskan sisi hakim, itu kan psikologinya masuk. Ya dari dulu makanya saya fikir forum pertemuan ahli psikologi, forensic dan hukum penting karena orang akan tahu psikologi omongnya kayak begini, engineering kayak begitu. Dengan demikian, semakin kita melihat sesuatu semakin aware kita. Akhirnya, kita bisa kerja sama.

Tetapi, susahnya ilmu hukum itu kadang-kadang tertutup. Saya tidak tahu berapa banyak orang hukum yang ikut dalam forum pertemuan ini. Dokter banyak yang hadir tapi dari orang-orang hukum sendiri tidak banyak yang datang, padahal justru mereka yang penting. Kaitan ilmu-ilmu lain yang dibahas kan dengan ilmu hukum. Orang hukum harus diberi wawasan tentang pentingnya keterbukaan. Kalau kita mau kerja sama antara psikologi dan hukum, tidak mungkin psikolognya saja yang agresif. Orang hukum juga harus terbuka. Tanpa itu kerjasama tak mungkin terjalin, komunikasi harus sering dilakukan.

Berdasarkan hasil riset, bagaimana pandangan Anda terhadap peradilan di Indonesia dan hakim-hakimnya?

Kayaknya masih kacau, masih banyak yang harus diperhatikan. Banyak hakim yang sekarang -- kalau istilahnya pak Adrianus -- berasal dari perguruan tinggi tidak terkenal. Tidak cuma itu, kadang hakimnya hanya S1, pengacaranya sudah S2 dan S3. Itu otomatis sudah memberikan beban mental psikologis tersendiri. Begitu tahu pengacaranya begitu, acapkali hakim sudah merasa berat. Menurut saya, upgrading terhadap hakim itu perlu, baik dari sisi keilmuan, hukum, maupun wawasan-wawasan lain.

Misalnya lewat pelatihan-pelatihan. Karena kalau tanpa itu ya susah. Saya melihat bahwa sistem peradilan di Indonesia itu berbeda dengan di luar negeri. Amerika misalnya menggunakan sistem juri, Jadi saat mengambil keputusan itu ada dua hal yang diputuskan. Juri memutuskan guilty or not guilty, lalu hakim memutuskan berapa tahun hukumannya. Kalau di Indonesia semua itu jadi beban hakim sendiri. Guilty or not guilty ya putusan sepenuhnya di tangan hakim. Padahal pengambilan keputusan bersalah atau tidak bersalah harus mempertimbangkan keadilan masyarakat. Jadi kalau sistem juri memutuskan bahwa kondisi yang ada misalnya kasus ibu membunuh anak, maka di tim juri wakil dari ibu harus masuk. Etnisnya apa, misalnya etnisnya Negro, berarti wakil Negro juga harus masuk sebagai tolok ukur keadilan yang ada di masyarakat itu. Artinya juri adalah representasi dari masyarakat yang komposisinya bergantung pada kasus. Kalau di Indonesia, hakim kan semua harus tahu. Bayangkan ya, berat juga. Apalagi kalau tidak di back-up dengan kondisi-koindisi yang tidak menunjang, baik dari ilmunya maupun yang lain.

Apakah berarti sistem juri lebih baik dan menjamin bahwa tidak akan muncul bias dalam putusan hakim?

Bukan begitu. Saya hanya memberikan komparasi bahwa tugas hakim di sistem kita sangat berat. Sudah berat, kalau ia tidak didukung semakin ia tidak bisa melakukan apa-apa. Menghadapi bias-bias yang mungkin muncul saat hakim membuat putusan saya hanya bisa menyarankan sebaiknya Anda berdoa, mudah-mudahan hakim yang menangani kasus Anda berada dalam kondisi yang jernih pikirannya. Sebab publik tidak mungkin bisa masuk ke dalam putusan hakim.

Artinya, semua kembali kepada peribadi hakim itu sendiri?

Karena mereka berkelit pada kebebasan hakim kan. Kalau mereka sudah punya majelis hakim untuk suatu perkara, makla tak ada yang bisa campur tangan. Ketua Pengadilan pun tidak boleh masuk, sangat tertutup. Hakim punya kebebasan mutlak, dan sulit untuk menembus itu. Jadi yang perlu dilakukan adalah penguatan hakim, memberikan penyadaran kepada hakim bahwa adakalanya kondisinya tidak benar.
(CRT/Mys)